www.hukumonline.com
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2014
TENTANG
TENAGA KESEHATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi serta
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai
pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan
yang menyeluruh oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat secara terarah, terpadu dan
berkesinambungan, adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat;
c. bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung
jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus
harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi,
perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan
memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kesehatan;
d. bahwa untuk memenuhi hak dan kebutuhan kesehatan setiap individu dan masyarakat, untuk
memeratakan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat, dan untuk memberikan pelindungan
serta kepastian hukum kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima upaya pelayanan kesehatan,
perlu pengaturan mengenai tenaga kesehatan terkait dengan perencanaan kebutuhan, pengadaan,
pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan;
e. bahwa ketentuan mengenai tenaga kesehatan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundangundangan
dan belum menampung kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu dibentuk undangundang
tersendiri yang mengatur tenaga kesehatan secara komprehensif;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063).
1 / 28
www.hukumonline.com
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG TENAGA KESEHATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
2. Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang
Diploma Tiga.
3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
4. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu,
terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
5. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan berdasarkan ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat menjalankan praktik.
6. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik pada
perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bidang Kesehatan.
7. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi Tenaga Kesehatan untuk
dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji Kompetensi.
8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan
pendidikan profesi.
9. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi
atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lain serta mempunyai pengakuan secara
hukum untuk menjalankan praktik.
2 / 28
www.hukumonline.com
10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh konsil
masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi.
11. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan
praktik.
12. Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidang kesehatan.
13. Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga Kesehatan dalam melakukan
pelayanan kesehatan.
14. Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan memberikan langkah yang benar dan terbaik
berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang
dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan Standar Profesi.
15. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara independen yang
terdiri atas konsil masing-masing tenaga kesehatan.
16. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang seprofesi.
17. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi Profesi untuk
setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang bertugas mengampu dan meningkatkan mutu pendidikan
cabang disiplin ilmu tersebut.
18. Penerima Pelayanan Kesehatan adalah setiap orang yang melakukan konsultasi tentang kesehatan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
tenaga kesehatan.
19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota serta perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan.
21. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 2
Undang-Undang ini berasaskan:
a. Perikemanusiaan;
b. manfaat;
c. pemerataan;
d. etika dan profesionalitas;
e. penghormatan terhadap hak dan kewajiban;
f. keadilan;
g. pengabdian;
h. norma agama; dan
i. pelindungan.
3 / 28
www.hukumonline.com
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Tenaga Kesehatan;
b. mendayagunakan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
c. memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
d. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang diberikan oleh
Tenaga Kesehatan; dan
e. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
BAB II
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 4
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap:
a. pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan peningkatan mutu Tenaga Kesehatan;
b. perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan; dan
c. pelindungan kepada Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik.
Pasal 5
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, Pemerintah berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan skala nasional selaras dengan kebijakan pembangunan
nasional;
b. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
c. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
d. mendayagunakan Tenaga Kesehatan;
e. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui pelaksanaan kegiatan
sertifikasi Kompetensi dan pelaksanaan Registrasi Tenaga Kesehatan;
f. melaksanakan kerja sama, baik dalam negeri maupun luar negeri di bidang Tenaga Kesehatan; dan
g. menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan Tenaga Kesehatan yang akan melakukan pekerjaan atau
praktik di luar negeri dan Tenaga Kesehatan warga negara asing yang akan melakukan pekerjaan atau
praktik di Indonesia.
Pasal 6
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah daerah provinsi berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan pembangunan nasional;
4 / 28
www.hukumonline.com
b. melaksanakan kebijakan Tenaga Kesehatan;
c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, pemanfaatan dan pengembangan;
f. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui pembinaan dan pengawasan
pelaksanaan praktik Tenaga Kesehatan; dan
g. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidang Tenaga Kesehatan.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah daerah kabupaten/kota berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan nasional dan provinsi;
b. melaksanakan kebijakan Tenaga Kesehatan;
c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan;
f. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui pelaksanaan kegiatan
perizinan Tenaga Kesehatan; dan
g. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidang Tenaga Kesehatan.
BAB III
KUALIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN TENAGA KESEHATAN
Pasal 8
Tenaga di bidang kesehatan terdiri atas:
a. Tenaga Kesehatan; dan
b. Asisten Tenaga Kesehatan.
Pasal 9
(1) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a harus memiliki kualifikasi minimum
Diploma Tiga, kecuali tenaga medis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10
(1) Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b harus memiliki kualifikasi
minimum pendidikan menengah di bidang kesehatan.
5 / 28
www.hukumonline.com
(2) Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat bekerja di bawah supervisi
Tenaga Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Asisten Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 11
(1) Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:
a. tenaga medis;
b. tenaga psikologi klinis;
c. tenaga keperawatan;
d. tenaga kebidanan;
e. tenaga kefarmasian;
f. tenaga kesehatan masyarakat;
g. tenaga kesehatan lingkungan;
h. tenaga gizi;
i. tenaga keterapian fisik;
j. tenaga keteknisian medis;
k. tenaga teknik biomedika;
l. tenaga kesehatan tradisional; dan
m. tenaga kesehatan lain.
(2) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
(3) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga psikologi klinis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b adalah psikologi klinis.
(4) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c terdiri atas berbagai jenis perawat.
(5) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kebidanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d adalah bidan.
(6) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
(7) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu
perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik
dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga.
(8) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri atas tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan
mikrobiolog kesehatan.
(9) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga gizi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf h terdiri atas nutrisionis dan dietisien.
(10) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keterapian fisik sebagaimana dimaksud
6 / 28
www.hukumonline.com
pada ayat (1) huruf i terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan akupunktur.
(11) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keteknisian medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf j terdiri atas perekam medis dan informasi kesehatan, teknik kardiovaskuler,
teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan
mulut, dan audiologis.
(12) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga teknik biomedika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf k terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli teknologi laboratorium medik,
fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik.
(13) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok Tenaga Kesehatan tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf l terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan
tradisional keterampilan.
(14) Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 12
Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta kebutuhan
pelayanan kesehatan, Menteri dapat menetapkan jenis Tenaga Kesehatan lain dalam setiap kelompok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
BAB IV
PERENCANAAN, PENGADAAN, DAN PENDAYAGUNAAN
Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 13
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan, baik dalam jumlah, jenis,
maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan kesehatan.
Pasal 14
(1) Menteri menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan dalam rangka memenuhi
kebutuhan Tenaga Kesehatan secara nasional.
(2) Perencanaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjenjang
berdasarkan ketersediaan Tenaga Kesehatan dan kebutuhan penyelenggaraan pembangunan dan Upaya
Kesehatan.
(3) Ketersediaan dan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pemetaan Tenaga
Kesehatan.
Pasal 15
Menteri dalam menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan harus memperhatikan faktor:
7 / 28
www.hukumonline.com
a. jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi Tenaga Kesehatan;
b. penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
c. ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
d. kemampuan pembiayaan;
e. kondisi geografis dan sosial budaya; dan
f. kebutuhan masyarakat.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengadaan
Pasal 17
(1) Pengadaan Tenaga Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan pendayagunaan Tenaga
Kesehatan.
(2) Pengadaan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui pendidikan tinggi bidang kesehatan.
(3) Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diarahkan untuk menghasilkan
Tenaga Kesehatan yang bermutu sesuai dengan Standar Profesi dan Standar Pelayanan Profesi.
(4) Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan dengan
memperhatikan:
a. keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan dinamika kesempatan
kerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
b. keseimbangan antara kemampuan produksi Tenaga Kesehatan dan sumber daya yang tersedia;
dan
c. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(5) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Pemerintah
dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Pendidikan tinggi bidang kesehatan diselenggarakan berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
(3) Pembinaan teknis pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh Menteri.
(4) Pembinaan akademik pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
8 / 28
www.hukumonline.com
(5) Dalam penyusunan kurikulum pendidikan Tenaga Kesehatan, penyelenggara pendidikan tinggi bidang
kesehatan harus mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan berkoordinasi dengan Menteri.
(6) Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penjaminan mutu lulusan, penyelenggara pendidikan tinggi bidang kesehatan hanya dapat
menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.
(2) Ketentuan mengenai kuota nasional penerimaan mahasiswa diatur dengan Peraturan Menteri yang
menyelenggarakan urusan bidang pendidikan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
Pasal 20
(1) Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan
Tenaga Kesehatan.
(2) Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(3) Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara
bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan,
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, asosiasi institusi
pendidikan, dan Organisasi Profesi.
(4) Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Pasal 21
(1) Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti Uji
Kompetensi secara nasional.
(2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja
sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.
(3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk mencapai standar kompetensi
lulusan yang memenuhi standar kompetensi kerja.
(4) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh Organisasi Profesi dan
konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan ditetapkan oleh Menteri.
(5) Mahasiswa pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji Kompetensi
memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
(6) Mahasiswa pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji Kompetensi
memperoleh Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Bagian Ketiga
9 / 28
www.hukumonline.com
Pendayagunaan
Pasal 22
(1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan.
(2) Pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pendayagunaan Tenaga Kesehatan di
dalam negeri dan luar negeri.
(3) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan aspek pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan.
Pasal 23
(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan penempatan Tenaga
Kesehatan setelah melalui proses seleksi.
(2) Penempatan Tenaga Kesehatan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a. pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil;
b. pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja; atau
c. penugasan khusus.
(3) Selain penempatan Tenaga Kesehatan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
dapat menempatkan Tenaga Kesehatan melalui pengangkatan sebagai anggota TNI/POLRI.
(4) Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta penempatan melalui pengangkatan
sebagai anggota TNI/POLRI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
(5) Penempatan Tenaga Kesehatan melalui penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
dilakukan dengan penempatan dokter pascainternsip, residen senior, pascapendidikan spesialis dengan
ikatan dinas, dan tenaga kesehatan lainnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dengan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 24
(1) Penempatan Tenaga Kesehatan dilakukan dengan tetap memperhatikan pemanfaatan dan
pengembangan Tenaga Kesehatan.
(2) Penempatan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui seleksi.
Pasal 25
(1) Pemerintah dalam memeratakan penyebaran Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dapat mewajibkan Tenaga Kesehatan lulusan dari perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
Pemerintah untuk mengikuti seleksi penempatan.
10 / 28
www.hukumonline.com
(2) Selain Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seleksi penempatan dapat diikuti oleh
Tenaga Kesehatan lulusan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melaksanakan tugas
sesuai dengan Kompetensi dan kewenangannya.
(2) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau kepala daerah
yang membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan
sandang, pangan, papan, dan lokasi, serta keamanan dan keselamatan kerja Tenaga Kesehatan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 27
(1) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan
antarprovinsi, antarkabupaten, atau antarkota karena alasan kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau promosi.
(2) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah
bermasalah kesehatan memperoleh hak kenaikan pangkat istimewa dan pelindungan dalam pelaksanaan
tugas.
(3) Dalam hal terjadi kekosongan Tenaga Kesehatan, Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib
menyediakan Tenaga Kesehatan pengganti untuk menjamin keberlanjutan pelayanan kesehatan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtugasan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah
bermasalah kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada Tenaga
Kesehatan yang memenuhi kualifikasi akademik dan Kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai
Tenaga Kesehatan di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan tunjangan khusus kepada Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah di daerah khusus berhak
mendapatkan fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan sebagai Tenaga Kesehatan dalam keadaan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon Tenaga
Kesehatan untuk memenuhi kepentingan pembangunan kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
11 / 28
www.hukumonline.com
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Pengembangan Tenaga Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu dan karier Tenaga Kesehatan.
(2) Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendidikan
dan pelatihan serta kesinambungan dalam menjalankan praktik.
(3) Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala daerah dan pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan yang sama kepada Tenaga Kesehatan
dengan mempertimbangkan penilaian kinerja.
Pasal 31
(1) Pelatihan Tenaga Kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
masyarakat.
(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi program pelatihan dan tenaga pelatih
yang sesuai dengan Standar Profesi dan standar kompetensi serta diselenggarakan oleh institusi
penyelenggara pelatihan yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara pelatihan Tenaga Kesehatan, program dan tenaga pelatih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga Kesehatan di Indonesia dan peluang kerja
bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia di luar negeri.
(2) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
KONSIL TENAGA KESEHATAN INDONESIA
Pasal 34
(1) Untuk meningkatkan mutu Praktik Tenaga Kesehatan serta untuk memberikan pelindungan dan kepastian
hukum kepada Tenaga Kesehatan dan masyarakat, dibentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
(2) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas konsil masingmasing
Tenaga Kesehatan.
(3) Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Praktik
12 / 28
www.hukumonline.com
Kedokteran.
(4) Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melaksanakan
tugasnya bersifat independen.
(5) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri.
Pasal 35
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Pasal 36
(1) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mempunyai fungsi sebagai koordinator konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
memiliki tugas:
a. memfasilitasi dukungan pelaksanaan tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan;
b. melakukan evaluasi tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan; dan
c. membina dan mengawasi konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
(3) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
memiliki wewenang menetapkan perencanaan kegiatan untuk konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
Pasal 37
(1) Konsil masing-masing tenaga kesehatan mempunyai fungsi pengaturan, penetapan dan pembinaan
tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan memiliki tugas:
a. melakukan Registrasi Tenaga Kesehatan;
b. melakukan pembinaan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan;
c. menyusun Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan;
d. menyusun standar praktik dan standar kompetensi Tenaga Kesehatan; dan
e. menegakkan disiplin praktik Tenaga Kesehatan.
Pasal 38
Dalam menjalankan tugasnya, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan mempunyai wewenang:
a. menyetujui atau menolak permohonan Registrasi Tenaga Kesehatan;
b. menerbitkan atau mencabut STR;
c. menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan dengan pelanggaran disiplin profesi Tenaga
Kesehatan;
13 / 28
www.hukumonline.com
d. menetapkan dan memberikan sanksi disiplin profesi Tenaga Kesehatan; dan
e. memberikan pertimbangan pendirian atau penutupan institusi pendidikan Tenaga Kesehatan.
Pasal 39
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dibantu sekretariat
yang dipimpin oleh seorang sekretaris.
Pasal 40
(1) Keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia merupakan pimpinan konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan.
(2) Keanggotaan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan terdiri atas unsur:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;
b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan;
c. Organisasi Profesi;
d. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan;
e. asosiasi institusi pendidikan Tenaga Kesehatan;
f. asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan; dan
g. tokoh masyarakat.
Pasal 41
Pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dibebankan kepada anggaran
pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 42
Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, pengangkatan, pemberhentian, serta keanggotaan Konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia dan sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan
Presiden.
BAB VI
REGISTRASI DAN PERIZINAN TENAGA KESEHATAN
Bagian Kesatu
14 / 28
www.hukumonline.com
Registrasi
Pasal 44
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR.
(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan
setelah memenuhi persyaratan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji profesi; dan
e. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) STR berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setelah memenuhi persyaratan.
(5) Persyaratan untuk Registrasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a. memiliki STR lama;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi;
e. telah mengabdikan diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidangnya; dan
f. memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah
lainnya.
Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Registrasi dan Registrasi ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 diatur dengan Peraturan Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
Bagian Kedua
Perizinan
Pasal 46
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.
(3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atas
rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Tenaga Kesehatan
menjalankan praktiknya.
(4) Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Tenaga Kesehatan harus memiliki:
15 / 28
www.hukumonline.com
a. STR yang masih berlaku;
b. Rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan
c. tempat praktik.
(5) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing berlaku hanya untuk 1 (satu) tempat.
(6) SIP masih berlaku sepanjang:
a. STR masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 47
Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama praktik.
Bagian Ketiga
Pembinaan Praktik
Pasal 48
(1) Untuk terselenggaranya praktik tenaga kesehatan yang bermutu dan pelindungan kepada masyarakat,
perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap tenaga kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri bersama-sama dengan
Pemerintah Daerah, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan, dan Organisasi Profesi sesuai dengan
kewenangannya.
Bagian Keempat
Penegakan Disiplin Tenaga Kesehatan
Pasal 49
(1) Untuk menegakkan disiplin Tenaga Kesehatan dalam penyelenggaraan praktik, konsil masing-masing
Tenaga Kesehatan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
Tenaga Kesehatan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan dapat memberikan sanksi disiplin berupa:
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kesehatan.
(3) Tenaga Kesehatan dapat mengajukan keberatan atas putusan sanksi disiplin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada Menteri.
16 / 28
www.hukumonline.com
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
ORGANISASI PROFESI
Pasal 50
(1) Tenaga Kesehatan harus membentuk Organisasi Profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga Kesehatan.
(2) Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi.
(3) Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 51
(1) Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan Tenaga Kesehatan, setiap
Organisasi Profesi dapat membentuk Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan.
(2) Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan
otonom di dalam Organisasi Profesi.
(3) Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
kepada Organisasi Profesi.
BAB VIII
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA INDONESIA LULUSAN LUAR NEGERI DAN TENAGA
KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri
Pasal 52
(1) Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan praktik di
Indonesia harus mengikuti proses evaluasi kompetensi.
(2) Proses evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan untuk melakukan praktik.
(3) Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. penilaian keabsahan ijazah oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendidikan;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
17 / 28
www.hukumonline.com
c. surat pernyataan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan
melalui uji kompetensi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(5) Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah lulus Uji Kompetensi dan yang
akan melakukan praktik di Indonesia memperoleh STR.
(6) Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan praktik
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memiliki SIP sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(7) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara proses evaluasi kompetensi bagi Tenaga Kesehatan Warga
Negara Indonesia lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Kedua
Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing
Pasal 53
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mendayagunakan Tenaga Kesehatan warga negara asing sesuai
dengan persyaratan.
(2) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
a. alih teknologi dan ilmu pengetahuan; dan
b. ketersediaan Tenaga Kesehatan setempat.
Pasal 54
(1) Tenaga Kesehatan warga negara asing yang akan menjalankan praktik di Indonesia harus mengikuti
evaluasi kompetensi.
(2) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan untuk melakukan praktik.
(3) Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. penilaian keabsahan ijazah oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
c. surat pernyataan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dinyatakan
dengan surat keterangan yang menyatakan telah mengikuti program evaluasi kompetensi dan Sertifikat
Kompetensi.
(5) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Kesehatan warga negara asing harus
memenuhi persyaratan lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
18 / 28
www.hukumonline.com
Pasal 55
(1) Tenaga Kesehatan warga negara asing yang telah mengikuti proses evaluasi kompetensi dan yang akan
melakukan praktik di Indonesia harus memiliki STR Sementara dan SIP.
(2) STR sementara bagi Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
(3) Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan Praktik di
Indonesia berdasarkan atas permintaan pengguna Tenaga Kesehatan warga negara asing.
(4) SIP bagi Tenaga Kesehatan warga negara asing berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang
hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan dan praktik Tenaga Kesehatan warga negara asing diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN
Pasal 57
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya;
c. menerima imbalan jasa;
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat
dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama;
e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan dengan Standar
Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan
Perundang-undangan; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 58
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi,
Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan
Kesehatan;
b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya atas tindakan
yang akan diberikan;
19 / 28
www.hukumonline.com
c. menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan
yang dilakukan; dan
e. merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai Kompetensi
dan kewenangan yang sesuai.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d hanya berlaku bagi Tenaga
Kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perseorangan.
Pasal 59
(1) Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan
pertolongan pertama kepada Penerima Pelayanan Kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau
pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
(2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak Penerima Pelayanan
Kesehatan dan/atau dilarang meminta uang muka terlebih dahulu.
BAB X
PENYELENGGARAAN KEPROFESIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 60
Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk:
a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki;
b. meningkatkan Kompetensi;
c. bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi;
d. mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok; dan
e. melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam menyelenggarakan upaya kesehatan.
Pasal 61
Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan langsung kepada Penerima
Pelayanan Kesehatan harus melaksanakan upaya terbaik untuk kepentingan Penerima Pelayanan Kesehatan
dengan tidak menjanjikan hasil.
Bagian Kedua
Kewenangan
20 / 28
www.hukumonline.com
Pasal 62
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang
didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya.
(2) Jenis Tenaga Kesehatan tertentu yang memiliki lebih dari satu jenjang pendidikan memiliki kewenangan
profesi sesuai dengan lingkup dan tingkat Kompetensi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 63
(1) Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai menjalankan keprofesian di luar kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 64
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan dilarang melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga Kesehatan
yang telah memiliki izin.
Bagian Ketiga
Pelimpahan Tindakan
Pasal 65
(1) Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis
dari tenaga medis.
(2) Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, tenaga teknis kefarmasian dapat menerima pelimpahan
pekerjaan kefarmasian dari tenaga apoteker.
(3) Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh
penerima pelimpahan;
b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;
c. pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang
pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan; dan
d. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan sebagai dasar pelaksanaan
tindakan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional
21 / 28
www.hukumonline.com
Pasal 66
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi Standar Profesi,
Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.
(2) Standar Profesi dan Standar Pelayanan Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masingmasing
jenis Tenaga Kesehatan ditetapkan oleh organisasi profesi bidang kesehatan dan disahkan oleh
Menteri.
(3) Standar Pelayanan Profesi yang berlaku universal ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(4) Standar Prosedur Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar
Prosedur Operasional diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 67
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik dapat melakukan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan.
(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menghasilkan
informasi kesehatan, teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi kesehatan untuk mendukung
pembangunan kesehatan.
(3) Penelitian dan pengembangan kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Bagian Kelima
Persetujuan Tindakan Tenaga Kesehatan
Pasal 68
(1) Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus
mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat penjelasan secara cukup
dan patut.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. tata cara tindakan pelayanan;
b. tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan, baik secara tertulis maupun lisan.
(5) Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
22 / 28
www.hukumonline.com
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 69
(1) Pelayanan kesehatan masyarakat harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan tidak melanggar
hak asasi manusia.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan program
Pemerintah tidak memerlukan persetujuan tindakan.
(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus diinformasikan kepada
masyarakat Penerima Pelayanan Kesehatan tersebut.
Bagian Keenam
Rekam Medis
Pasal 70
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan perseorangan wajib membuat rekam
medis Penerima Pelayanan Kesehatan.
(2) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera
dilengkapi setelah Penerima Pelayanan Kesehatan selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan atau
paraf Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan atau tindakan.
(4) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh Tenaga Kesehatan dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal 71
(1) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 merupakan milik
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(2) Dalam hal dibutuhkan, Penerima Pelayanan Kesehatan dapat meminta resume rekam medis kepada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal 72
Ketentuan lebih lanjut mengenai rekam medis diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Rahasia Kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan
Pasal 73
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan wajib menyimpan rahasia
23 / 28
www.hukumonline.com
kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan.
(2) Rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
Penerima Pelayanan Kesehatan, pemenuhan permintaan aparatur penegak hukum bagi kepentingan
penegakan hukum, permintaan Penerima Pelayanan Kesehatan sendiri, atau pemenuhan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Pelindungan bagi Tenaga Kesehatan dan Penerima Pelayanan Kesehatan
Pasal 74
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mengizinkan Tenaga Kesehatan yang tidak memiliki STR dan
izin untuk menjalankan praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal 75
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 76
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam meningkatkan dan menjaga mutu pemberian pelayanan
kesehatan dapat membentuk komite atau panitia atau tim untuk kelompok Tenaga Kesehatan di lingkungan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
BAB XI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 77
Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat
meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 78
Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan
kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 79
Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilaksanakan sesuai
24 / 28
www.hukumonline.com
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 80
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Tenaga Kesehatan
dengan melibatkan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan Organisasi Profesi sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 81
(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diarahkan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan;
b. melindungi Penerima Pelayanan Kesehatan dan masyarakat atas tindakan yang dilakukan Tenaga
Kesehatan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 82
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 47, Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat
(1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), Pasal 70
ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (2), Pasal 53
ayat (1), Pasal 70 ayat (4), dan Pasal 74 dikenai sanksi administratif.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya memberikan sanksi administratif kepada Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. denda administratif; dan/atau
d. pencabutan izin.
(5) Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
25 / 28
www.hukumonline.com
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 83
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga Kesehatan yang
telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun.
Pasal 84
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan
Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga
Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 85
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki STR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja memberikan pelayanan kesehatan
tanpa memiliki STR Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 86
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja memberikan pelayanan kesehatan
tanpa memiliki SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 87
(1) Bukti Registrasi dan perizinan Tenaga Kesehatan yang telah dimiliki oleh Tenaga Kesehatan, pada saat
berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan masih tetap berlaku sampai habis masa berlakunya.
(2) Tenaga Kesehatan yang belum memiliki bukti Registrasi dan perizinan wajib menyesuaikan dengan
ketentuan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
26 / 28
www.hukumonline.com
Pasal 88
(1) Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan di bawah Diploma Tiga yang telah melakukan praktik sebelum
ditetapkan Undang-Undang ini, tetap diberikan kewenangan untuk menjalankan praktik sebagai Tenaga
Kesehatan untuk jangka waktu 6 (enam) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan
mendapatkan STR Tenaga Kesehatan.
Pasal 89
Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia dan Komite Farmasi Nasional sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sampai terbentuknya Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia.
Pasal 90
(1) Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi menjadi bagian dari Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
setelah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia terbentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sampai
dengan terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
(3) Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya
sampai dengan terbentuknya sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 91
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
Tenaga Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 92
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3637) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 93
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 harus dibentuk paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
27 / 28
www.hukumonline.com
Pasal 94
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Pasal 4 ayat (2), Pasal 17, Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
b. Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) menjadi sekretariat Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia setelah terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
Pasal 95
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 96
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 298
28 / 28
www.hukumonline.com
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2014
TENTANG
TENAGA KESEHATAN
I. UMUM
Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Pembukaan UUD 1945
mencantumkan cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu wujud memajukan kesejahteraan
umum adalah Pembangunan Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya,
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia, artinya, setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau juga merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, dalam rangka melakukan upaya kesehatan tersebut perlu didukung dengan
sumber daya kesehatan, khususnya Tenaga Kesehatan yang memadai, baik dari segi kualitas, kuantitas,
maupun penyebarannya.
Upaya pemenuhan kebutuhan Tenaga Kesehatan sampai saat ini belum memadai, baik dari segi jenis,
kualifikasi, jumlah, maupun pendayagunaannya, Tantangan pengembangan Tenaga Kesehatan yang
dihadapi dewasa ini dan di masa depan adalah:
1. pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan belum dapat memenuhi kebutuhan Tenaga
Kesehatan untuk pembangunan kesehatan;
2. regulasi untuk mendukung upaya pembangunan Tenaga Kesehatan masih terbatas;
3. perencanaan kebijakan dan program Tenaga Kesehatan masih lemah;
4. kekurangserasian antara kebutuhan dan pengadaan berbagai jenis Tenaga Kesehatan;
5. kualitas hasil pendidikan dan pelatihan Tenaga Kesehatan pada umumnya masih belum memadai;
6. pendayagunaan Tenaga Kesehatan, pemerataan dan pemanfaatan Tenaga Kesehatan berkualitas
masih kurang;
7. pengembangan dan pelaksanaan pola pengembangan karir, sistem penghargaan, dan sanksi
belum dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan;
8. pengembangan profesi yang berkelanjutan masih terbatas;
9. pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan belum dapat dilaksanakan sebagaimana
yang diharapkan;
10. sumber daya pendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan masih terbatas;
11. sistem informasi Tenaga Kesehatan belum sepenuhnya dapat menyediakan data dan informasi
yang akurat, terpercaya, dan tepat waktu; dan
12. dukungan sumber daya pembiayaan dan sumber daya lain belum cukup.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, diperlukan adanya penguatan regulasi untuk mendukung
1 / 18
www.hukumonline.com
pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan melalui percepatan pelaksanaannya, peningkatan
kerja sama lintas sector, dan peningkatan pengelolaannya secara berjenjang di pusat dan daerah.
Perencanaan kebutuhan Tenaga Kesehatan secara nasional disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan
masalah kesehatan, kebutuhan pengembangan program pembangunan kesehatan, serta ketersediaan
Tenaga Kesehatan tersebut. Pengadaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan perencanaan kebutuhan
diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun
masyarakat, termasuk swasta.
Pendayagunaan Tenaga Kesehatan meliputi penyebaran Tenaga Kesehatan yang merata dan
berkeadilan, pemanfaatan Tenaga Kesehatan, dan pengembangan Tenaga Kesehatan, termasuk
peningkatan karier.
Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas
Tenaga Kesehatan sesuai dengan Kompetensi yang diharapkan dalam mendukung penyelenggaraan
pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga
Kesehatan dilakukan melalui peningkatan komitmen dan koordinasi semua pemangku kepentingan dalam
pengembangan Tenaga Kesehatan serta legislasi yang antara lain meliputi sertifikasi melalui Uji
Kompetensi, Registrasi, perizinan, dan hak-hak Tenaga Kesehatan.
Penguatan sumber daya dalam mendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan
dilakukan melalui peningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan, penguatan sistem informasi Tenaga
Kesehatan, serta peningkatan pembiayaan dan fasilitas pendukung lainnya.
Dalam rangka memberikan pelindungan hukum dan kepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan, baik
yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat maupun yang tidak langsung, dan kepada
masyarakat penerima pelayanan itu sendiri, diperlukan adanya landasan hukum yang kuat yang sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta sosial ekonomi dan
budaya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas perikemanusiaan" adalah bahwa pengaturan Tenaga Kesehatan harus
dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak
membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras serta tidak membedakan perlakuan terhadap
perempuan dan laki-laki.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "asas manfaat" adalah bahwa pengaturan Tenaga Kesehatan harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap orang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "asas pemerataan" adalah bahwa pengaturan Tenaga Kesehatan dimaksudkan
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
2 / 18
www.hukumonline.com
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas etika dan profesionalitas" adalah bahwa pengaturan tenaga kesehatan
harus dapat mencapai dan meningkatkan profesionalisme Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
serta memiliki etika profesi dan sikap profesional.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban" adalah bahwa pengaturan
Tenaga Kesehatan harus bertujuan untuk menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk
kesamaan kedudukan hukum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa pengaturan Tenaga Kesehatan harus dapat
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan
yang terjangkau.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "asas pengabdian" adalah bahwa pengaturan Tenaga Kesehatan diarahkan agar
Tenaga Kesehatan lebih mengutamakan kepentingan pemberian pelayanan kesehatan kepada
masyarakat daripada kepentingan pribadi.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas norma agama" adalah bahwa pengaturan Tenaga Kesehatan harus
memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "asas pelindungan" adalah bahwa pengaturan Tenaga Kesehatan harus
memberikan pelindungan yang sebesar-besarnya bagi tenaga kesehatan dan masyarakat.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
3 / 18
www.hukumonline.com
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "Asisten Tenaga Kesehatan" adalah tenaga yang memiliki kualifikasi di bawah
Diploma Tiga bidang kesehatan dan bekerja di bidang kesehatan.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
4 / 18
www.hukumonline.com
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Tenaga kesehatan tradisional yang termasuk ke dalam Tenaga Kesehatan adalah yang telah
memiliki body of knowledge, pendidikan formal yang setara minimum Diploma Tiga dan bekerja di
bidang kesehatan tradisional.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Jenis perawat antara lain perawat kesehatan masyarakat, perawat kesehatan anak, perawat maternitas,
perawat medikal bedah, perawat geriatri, dan perawat kesehatan jiwa.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Tenaga teknis kefarmasian meliputi sarjana farmasi, ahli madya farmasi, dan analis farmasi.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Ayat (14)
Cukup jelas.
5 / 18
www.hukumonline.com
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "disusun secara berjenjang" adalah perencanaan yang dimulai dari Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, Pemerintah daerah kabupaten/kota, Pemerintah daerah provinsi, sampai dengan
Pemerintah secara nasional.
Ayat (3)
Pemetaan Tenaga Kesehatan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dapat dilakukan
dengan cara pendataan, pengkajian, atau cara lain.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Izin meliputi izin pembentukan institusi pendidikan baru, penambahan jurusan, dan program studi baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pembinaan teknis" adalah pembinaan teknis keprofesian untuk mencapai
standar profesi atau standar Kompetensi berdasarkan kurikulum dalam proses pendidikan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pembinaan akademik" antara lain berupa pemberian izin penyelenggaraan,
6 / 18
www.hukumonline.com
kurikulum, sistem penjaminan mutu internal, dan akreditasi.
Ayat (5)
Koordinasi dalam penyusunan kurikulum pendidikan Tenaga Kesehatan dimaksudkan agar Tenaga
Kesehatan dapat menjalankan kewenangannya sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dibutuhkan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Aspek pemerataan merupakan upaya distribusi Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan melalui
proses rekrutmen, seleksi, dan penempatan.
Aspek pemanfaatan merupakan proses pemberdayaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi
dan kewenangannya.
Aspek pengembangan merupakan proses pengembangan Tenaga Kesehatan yang bersifat multidisiplin
dan lintas sektor serta lintas program untuk meratakan dan meningkatkan kualitas Tenaga Kesehatan.
Pasal 23
Ayat (1)
Penempatan Tenaga Kesehatan dimaksudkan untuk mendayagunakan Tenaga Kesehatan pada daerah
yang dibutuhkan, terutama daerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan, serta daerah
bermasalah kesehatan.
Ayat (2)
Huruf a
7 / 18
www.hukumonline.com
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penugasan khusus adalah pendayagunaan secara khusus tenaga kesehatan dalam kurun waktu
tertentu guna meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada fasilitas pelayanan
kesehatan pada daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan, daerah bermasalah kesehatan, serta
rumah sakit kelas C atau kelas D di kabupaten/kota yang memerlukan pelayanan medis spesialistis
serta memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan lain oleh tenaga kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor sehingga
Tenaga Kesehatan tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan dapat berkembang
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. kondisi geografis, meliputi daerah terpencil, sangat terpencil, daerah tertinggal, tidak diminati, serta
perbatasan dan kepulauan;
b. masalah kesehatan/pola penyakit;
c. sarana, prasarana, dan infrastruktur yang tersedia;
d. rasio Tenaga Kesehatan dengan luas wilayah;
e. daerah rawan konflik atau bencana;
f. indeks pembangunan kesehatan masyarakat daerah;
g. kemampuan fiskal daerah; dan
h. lama pengabdian di daerah penempatan.
Pasal 25
Cukup jelas.
8 / 18
www.hukumonline.com
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pelindungan dalam pelaksanaan tugas" adalah pelindungan terhadap tenaga
kesehatan berupa keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja dalam menjalankan tugasnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta mengembangkan dan menerapkan pola karier Tenaga
Kesehatan yang dilakukan secara transparan dan terbuka.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam suatu pelatihan terdapat komponen kurikulum, pelatih, peserta, dan penyelenggara yang masingmasing
harus memenuhi standar tertentu.
9 / 18
www.hukumonline.com
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Fungsi pengaturan merupakan pengaturan dalam bidang teknis keprofesian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
10 / 18
www.hukumonline.com
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud tokoh masyarakat adalah setiap orang yang mempunyai reputasi dan kepedulian
terhadap kesehatan.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
11 / 18
www.hukumonline.com
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain berupa ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
12 / 18
www.hukumonline.com
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Praktik Tenaga Kesehatan dilaksanakan dengan kesepakatan berdasarkan hubungan kepercayaan antara
Tenaga Kesehatan dan Penerima Pelayanan Kesehatan dalam bentuk upaya maksimal (inspanningsverbintenis)
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan sesuai dengan Standar Pelayanan Profesi, Standar Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan.
Pasal 62
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kewenangan berdasarkan Kompetensi" adalah kewenangan untuk melakukan
pelayanan kesehatan secara mandiri sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya, antara lain:
a. apoteker memiliki kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian;
b. perawat memiliki kewenangan untuk melakukan asuhan keperawatan secara mandiri dan
komprehensif serta tindakan kolaborasi keperawatan dengan Tenaga Kesehatan lain sesuai
dengan kualifikasinya; atau
c. bidan memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan
anak, dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
13 / 18
www.hukumonline.com
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah suatu kondisi tidak adanya Tenaga Kesehatan yang
memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan serta tidak
dimungkinkan untuk dirujuk.
Tenaga Kesehatan yang dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya, antara lain adalah:
a. perawat atau bidan yang memberikan pelayanan kedokteran dan/atau kefarmasian dalam batas
tertentu; atau
b. tenaga teknis kefarmasian yang memberikan pelayanan kefarmasian yang menjadi kewenangan
apoteker dalam batas tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan dalam ketentuan ini, antara lain adalah perawat, bidan, penata
anestesi, tenaga keterapian fisik, dan keteknisian medis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan adalah penerima pelayanan kesehatan yang
bersangkutan. Apabila penerima pelayanan kesehatan tidak kompeten atau berada di bawah
pengampuan (under curatele), persetujuan atau penolakan tindakan pelayanan kesehatan dapat diberikan
oleh keluarga terdekat, antara lain suami/istri, ayah/ ibu kandung, anak kandung, atau saudara kandung
yang telah dewasa.
14 / 18
www.hukumonline.com
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan nyawa Penerima Pelayanan Kesehatan, tidak
diperlukan persetujuan. Namun, setelah Penerima Pelayanan Kesehatan sadar atau dalam kondisi yang
sudah memungkinkan segera diberi penjelasan.
Dalam hal Penerima Pelayanan Kesehatan adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan
diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya, sedangkan tindakan pelayanan kesehatan
harus diberikan, penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan atau pada kesempatan pertama
saat Penerima Pelayanan Kesehatan telah sadar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "program Pemerintah" adalah program yang merupakan keharusan untuk
dilaksanakan, antara lain imunisasi dan upaya lain dalam rangka pengendalian penyakit menular, serta
penanganan bencana, termasuk wabah dan kejadian luar biasa serta kegiatan surveilans.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
15 / 18
www.hukumonline.com
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
16 / 18
www.hukumonline.com
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
17 / 18
www.hukumonline.com
Pasal 96
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5607
18 / 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar